SWARATARUNA.COM - Malam belum larut. Kabut dingin turun di ketinggian Lawang Park. Semilir angin berhembus menuju gigil. Tafakur suara alam yang khusuk dalam perenungan ulang. Meditasi bersama noktah yang mengembun.
“Lawang Park ini saya buat untuk perenungan ulang bagi pengunjung. Orang datang ke sini, minum kopi, menenangkan diri dan mencari inspirasi,” ungkap Zuhrizul, pemiliki Lawang Park, dalam Diskusi Tigabelasan Jaringan Pemred Sumbar (JPS), di Lawang Park, Agam, Rabu (13/10).
Lelaki yang akrab disapa Mak Etek ini bercerita, Lawang Park dulunya rimba belantara. Lalu, pascagempa 2009, ia main ke kampungnya di Lawang, Kabupaten Agam. Muncul pikirannya untuk mengembangkan bukit rimba belantara yang memiliki pemandangan menarik ke Danau Maninjau.
“Orang kampung menyebut saya gila,” ujarnya.
Pertama dibangun di ketinggian tersebut adalah mushalla. Airnya tak ada, lalu dibuat lubang dan diberi plastik untuk penampung air.
“Saya jual paket kemping. Makan dibawa dari luar, karena belum ada restoran,” lanjutnya.
Setelah paket kemping itu laku, ia mulai membangun villa satu persatu. Namun, tidak berjalan mulus. Karena sulit meyakinkan ninik mamak untuk mendapatkan izin.
“Dua tahun saya meyakinkan ninik mamak. Bersama anak-anak muda di sini, saya membentuk Forum Wisata Madani. Kita ada pelatihan-pelatihan dan kegiatan lainnya,” papar Mak Etek.
Menariknya, setelah Lawang Park dibuka maksiat berkurang. Saat puncak bukit tersebut rimba belantara, hampir tiap minggu ada yang tertangkap mesum. Hal inilah yang melunakkan hati para ninik mamak tersebut, sehingga Lawang Park diizinkan membangun apa saja.
“Pariwisata itu memberantas maksiat. Dengan membangun wisata, tempatnya menjadi terang benderang. Kita menerima pelatihan dari perusahaan. Kita jual paket training, outbond, wisata keluarga, paralayang dan seterusnya. Bahkan, akrobatik paragliding, angin yang bisa itu ada dua, di Lawang Park dan satu lagi di turki,” tuturnya.
Terkait pariwisata Agam, ada 21 desa wisata yang akan dikembangkan. Terbanyak di Sumbar dan Indonesia. Diantaranya, Museum Buya Hamka yang bisa dijadikan wisata religi dan kajian agama.
“Saya membayangkan keramba ikan sebagai homestay, ada terasnya untuk mancing ikan. Orang ke sana naik perahu. Kemudian ada restoran terapung. Jadi, keramba itu bukan dimusnahkan tapi alih fungsi,” pungkasnya. (JPS)
0 Komentar