SWARATARUNA.COM - Sebagai kader Nahdatul Ulama (NU) H. Febby Dt Bangso yang akrab dipanggil FDB, mengaku sangat memahami apa yang dirasakan para ulama dan ormas di Sumbar terkait dengan pernyataan Menteri Agama, Yaqut. Namun, dalam menyikapinya tentu tidak juga dilakukan dengan cara permintaan copot mencopot. Karena soal itu merupakan hak prerogatifnya presiden.
"Harusnya ulama Minangkabau bertabayun sehingga apa yang disampaikan menteri itu tidak ditelan mentah mentah. Saya yakin, tentu ada yang tersirat dibalik yang tersurat dari apa yang disampaikan Menteri Agama tersebut," ungkap FDB yang merupakan Bendahara Ikatan Sarjana Ulama yang juga Mantan Ketua Cabang GP Ansor Kab. Agam.
FDB menambahkan, mana tahu dengan tabayunnya ulama dan ormas di Minangkabau, akan menjadi awal silaturrahmi dengan Menteri Agama sehingga dapat merajut benang merah aswaja di Minangkabau.
"Saya haqqul yakin, tidak ada niat seorang Gus Yacut yang juga Ketua Umum GP Ansor untuk menyinggung seseorang ataupun lembaga lain," ujar FDB.
Ulama di Minangkabau ini, lanjut FDB, banyak ulama besar dan dalam ilmunya tentu lebih arif menyikapi sesuatu serta tidak gampang terseret ke ranah yang lain yang bertujuan merusak silaturahmi.
"Menurut hemat saya, Mlmasih banyak lagi yang harus kita dikritisi seperti Alaturan yang menuai polemik saat ini tentang Peraturan Mendikbudristek nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diundangkan pada 3 September 2021. Ini akan menjadi persoalan besar, jika ulama dan ormas Islam tidak segera menyikapinya," jelas FDB.
Pasalnya, tambah FDB, penafsiran Permendikbudristek seolah melegalkan seks bebas di kampus. Hal ini turut menjadi sorotan Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lincolin Arsyad. Menurut Arsyad, hal itu merupakan salah satu masalah. Ia pun mendesak agar Nadiem mencabut penerbitan Permen itu.
"Agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Arsyad.
Arsyad merujuk pada rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5. Ia beranggapan standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun persetujuan dari para pihak.
"Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," ucapnya.
Dilanjutkan DFB, harusnya hal hal seperti ini yang juga ikut disuarakan oleh ulama ulama dan ormas Minangkabau dengan kecerdasan berpikirnya serta memyuarakannya ke DPRD Sumbar untuk ditindaklanjuti secara politik sampai ke tingkat pusat. Banyak hal krusial di sekitar kita yang memerlukan ulama dan ormas hadir untuk menyelesaikannya" jelas FDB.
Dan satu hal yang tak kalah penting dan menjadi kerisauan orang minang di ranah maupun di rantau, adalah soal maraknya di ranah minang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Termasuk narkoba yang sangat menghantui para orang tua di Minangkabau.
"Ini persoalan yang kita hadapi hari ini di Ranah Minang. Masa depan anak cucu kita terancam. Mungkin, hal hal inilah yang perlu kita keroyok bersama sama dalam memberantasnya. Karena kasus ini ada di lingkungan terdekat kita," pungkas FDB. (AdF/ms/)
0 Komentar