SWARATARUNA.COM - Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya.
Hal ini disampaikan oleh Anggota DPR RI Fraksi PKS Hj Nevy Zuairina ketika menggelar sosialisasi 4 pilar, pada Jumat 30 Juni 2023 di SDIT Cahaya Hati Kabupaten pasaman.
"Sebuah negarabangsa yang mengikat lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa (data BPS) dan bahasa, ragam agama dan budaya di sekitar 17.508 (tujuh belas ribu lima ratus delapan) pulau. Untuk itu diperlukan suatu konsepsi, kemauan, dan kemampuan yang kuat dan adekuat (memenuhi syarat/memadai), yang dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan keindonesiaan," kata Nevi Zuairina.
Menurut Nevi Zuairina para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegaraan, antara lain yang berkaitan dengan dasar negara, konstitusi negara, bentuk negara, dan wawasan kebangsaan yang dirasa sesuai dengan karakter keindonesian. Konsepsi pokok para pendiri bangsa ini tidak mengalami perubahan, tetapi sebagian yang bersifat teknis-instrumental mengalami penyesuaian pada generasi penerus bangsa ini.
Ia menyebut Bung Karno pernah mengatakan, “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan," sebutnya.
Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.” (dikutip dari Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945).
"Mak dengan semangat gotong royong, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama (sila) yang menyatukan dan menjadi haluan keindonesian, yang dikenal sebagai Pancasila," ujar Nevi.
Kelima sila itu terdiri atas:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawararan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Rumusan kelima sila tersebut terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak pengesahan Undang-Undang Dasar ini pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi negara, ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan, dan sumber dari segala sumber hukum. Dan Pancasila ini sudah final serta tidak bisa diganggu gugat," ujar Nevi Zuairina.
Nevi menjelaskan kemudian mengenai Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar, merupakan kesepakatan umum (konsensus) warga negara mengenai norma dasar (grundnorm) dan aturan dasar (grundgesetze) dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini utamanya menyangkut tujuan dan cita-cita bersama, the rule of law sebagai landasan penyelenggaraan negara, serta bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan.
"Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Negara juga menganut sistem konstitusional, dengan Pemerintah berdasarkan konstitusi (hukum dasar), dan tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Undang-Undang Dasar menjadi pedoman bagi pelaksanaan ”demokrasi konstitusional” (constitusional democracy), yakni praktik demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi," jelas Nevi Zuairina.
Selanjutnya Konsepsi tentang bentuk Negara Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang menjunjung tinggi otonomi dan kekhususan daerah sesuai dengan budaya dan adat istiadatnya.
Bentuk negara yang oleh sebagian besar pendiri bangsa dipercaya bisa menjamin persatuan yang kuat bagi negara kepulauan Indonesia adalah Negara Kesatuan (unitary).
Politik devide et impera (politik pecah belah) yang dikembangkan oleh kolonial memperkuat keyakinan bahwa hanya dalam persatuan yang bulat-mutlak, yang menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, yang membuat Indonesia bisa merdeka.
Semangat persatuan yang bulat-mutlak itu dirasa lebih cocok diwadahi dalam bentuk negara kesatuan. Selain itu, pengalaman traumatis pembentukan negara federal sebagai warisan kolonial, disertai kesulitan secara teknis untuk membentuk negara bagian dalam rancangan negara federal Indonesia, kian memperkuat dukungan pada bentuk negara kesatuan.
"Meskipun memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat bahwa untuk mengelola negara sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia tidak bisa tersentralisasi. Sejalan dengan itu, konsepsi tentang semboyan negara dirumuskan dalam “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun berbeda-beda, tetap satu jua (unity in diversity, diversity in unity)," kata Nevi Zuairina.
Di satu sisi, ada wawasan ”ke-eka-an” yang berusaha mencari titik-temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), Undang-Undang Dasar dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan kebhinnekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, serta unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Keempat konsepsi pokok itu disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian pilar adalah tiang penguat, dasar, yang pokok, atau induk. Penyebutan Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain.
Nevi menambahkan Empat pilar dari konsepsi kenegaraan Indonesia tersebut merupakan prasyarat minimal, di samping pilar-pilar lain, bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kukuh dan meraih kemajuan berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Setiap penyelenggara negara dan segenap warga negara Indonesia harus memiliki keyakinan, bahwa itulah prinsip-prinsip moral keindonesian yang memandu tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pengabaian, pengkhianatan, dan inkonsistensi yang berkaitan dengan keempat pilar tersebut bisa membawa berbagai masalah, keterpurukan, penderitaan dan perpecahan dalam perikehidupan kebangsaan," tambahnya.
Nevi Zuairina berharap untuk itu diperlukan adanya usaha sengaja untuk melakukan penyadaran, pengembangan dan pemberdayaan menyangkut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara itu. Para penyelenggara negara baik pusat maupun daerah dan segenap warga negara Indonesia harus sama-sama bertanggung jawab untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam negara yang berasaskan kekeluargaan, para penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Sementara itu, setiap warga negara hendaknya lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya kepada negara sebelum menuntut hak-haknya. Untuk dapat menjalankan kewajiban dan memahami hak-haknya, setiap unsur pemangku kepentingan dalam kehidupan kenegaraan harus menyadari pentingnya prinsip yang terkandung dalam keempat pilar tersebut, berusaha mengembangkan pemahamannya, serta memberdayakan kapasitas dan komitmennya dalam aktualisasi nilai-nilai tersebut sesuai dengan bidang, profesi dan posisi masing-masing.
MPR sebagai penjelmaan semangat kekeluargaan negara Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk mengukuhkan pilar-pilar fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan mandat konstitusional yang diembannya. MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, mengembangkan mekanisme checks and balances, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja Majelis agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia saat ini disebabkan karena segenap masyarakat abai dan lalai dalam pengimplementasian Empat Pilar itu dalam kehidupan sehari-hari.
Liberalisme ekonomi terjadi karena kita mengabaikan sila-sila dalam Pancasila terutama sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Konflik horizontal terjadi karena kita lalai pada Bhinneka Tunggal Ika.
Pemilihan nilai-nilai Empat Pilar tersebut tidak lain adalah untuk mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa agar pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara terus dijalankan dengan tetap mengacu kepada tujuan negara yang dicita-citakan, serta bersatu-padu mengisi pembangunan, agar bangsa ini dapat lebih maju dan sejahtera.
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dapat menjadi panduan yang efektif dan nyata, apabila semua pihak, segenap elemen bangsa, para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah dan seluruh masyarakat konsisten mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
DASAR HUKUM SOSIALISASI 4 PILAR SERTA TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB MPR RI
"Penguatan nilai-nilai kebangsaan melalui sosialisasi 4 pilar ini tentu mendapatkan dukungan dan perlindungan dalam konstitusi negara kita. Masyarakat indonesia sangat di lindungi hak-hak nya, seperti hak ntuk mendapatkan wawasan kebangsaan ini. Sehingga sudah menjadi tugas kita semua, utamanya MPR RI untuk memastikan segenap bangsa Indonesia mendapatkan wawasan kebangsaan dalam aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari," kata Nevi Zuairina.
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur bahwa, kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar; dan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila salah satu atau keduanya berhalangan tetap.
Akan tetapi ada peran lain yang dilakukan oleh MPR, yaitu sebagai penjelmaan semangat kekeluargaan negara Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk mengukuhkan pilar-pilar fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan mandat konstitusional yang diembannya.
Dalam kaitan ini, MPR berusaha melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dengan senantiasa menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, baik yang disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, maupun saluran-saluran publik lainnya.
Ia menyebut selain itu MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, mengembangkan mekanisme checks and balances, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja Majelis agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, MPR sebagai lembaga yang mencerminkan keterwakilan politik rakyat dan daerah, yang terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD, perlu melaksanakan peran strategis dalam perumusan arah kebijakan pembangunan nasional yang terencana, terukur dan berkesinambungan, sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional dapat lebih fokus dalam mewujudkan tujuan nasional menuju masa depan Indonesia yang lebih baik, yang telah juga dirumuskan dalam Visi Indonesia Masa Depan sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
Berkenaan dengan Kegiatan Sosialisasi yang dilakukan ini, dalam rangka memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada seluruh warga negara dan para penyelenggara negara terhadap UUD 1945 dan Putusan MPR lainnya. Serta didukung oleh Presiden Republik Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2005 tanggal 15 April 2005 tentang Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Sosialisasi UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR.
Selain itu, untuk memenuhi sasaran tercapainya pemahaman konstitusi oleh seluruh warga negara, MPR harus membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dalam melakukan sosialisasi putusan MPR ini.
TANTANGAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA KE DEPAN (Internal)
Menurut Nevi sebagai Bangsa Indonesia kita harus bangga memiliki Pancasila yang telah disepakati sebagai ideologi yang bisa mengikat bangsa Indonesia yang demikian besar dan majemuk. Pancasila adalah konsensus nasional yang dapat diterima semua paham, golongan, dan kelompok masyarakat di Indonesia. Pancasila adalah dasar negara yang mempersatukan bangsa sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.
Kehidupan bangsa Indonesia akan semakin kukuh, apabila segenap komponen bangsa, di samping memahami dan melaksanakan Pancasila, juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi utama lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Dengan demikian, perjuangan ke depan adalah tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara dan wadah pemersatu bangsa, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang merupakan modal untuk bersatu dalam kemajemukan.
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara tersebut patut disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan yang hingga saat ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan. Semua agama turut memperkukuh integrasi nasional melalui ajaran-ajaran yang menekankan rasa adil, kasih sayang, persatuan, persaudaraan, hormat-menghormati, dan kebersamaan. Selain itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimanifestasikan melalui adat istiadat juga berperan dalam mengikat hubungan batin setiap warga bangsa.
Dalam sejarahnya, kesadaran kebangsaan yang mengkristal yang lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan, akibat penjajahan, telah berhasil membentuk wawasan kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yaitu tekad bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Indonesia. Tekad bersatu ini kemudian dinyatakan secara politik sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
Namun, sejak terjadinya krisis multidimensional tahun 1997, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri. (Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Nevi menjelaskan ada beberapa faktor yang berasal dari dalam negeri yang pada hakikatnya dapat merusak dan mengganggu persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa, antara lain,
(1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antarumat beragama;
(2) sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di Pusat dan kurangnya perhatian terhadap pembangunan dan kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan;
(3) tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa;
(4) terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika;
(5) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa;
(6) tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah masyarakat;
(7) adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam merespons pengaruh negatif dari budaya luar;
(8) meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat-obat terlarang (Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa);
(9) Pemahaman dan implementasi otonomi daerah yang tidak sesuai dengan semangat konstitusi (Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah).
"Inilah beberapa point pokok permasalahan yang terjadi mendera bangsa kita dari waktu ke waktu. Gerakan reformasi pada hakikatnya merupakan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi di segala bidang, menegakkan hukum dan keadilan, menegakkan hak asasi manusia, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme, melaksanakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta menata kembali peran dan kedudukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia," jelasnya.
Usaha untuk mewujudkan gerakan reformasi secara konsekuen dan untuk mengakhiri berbagai konflik yang terjadi, jelas memerlukan kesadaran dan komitmen seluruh warga masyarakat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional. Persatuan dan kesatuan nasional hanya dapat dicapai apabila setiap warga masyarakat mampu hidup dalam kemajemukan dan mengelolanya dengan baik.
"Pada saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan terjadinya krisis yang sangat luas. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia," ujar Nevi
Dalam kerangka itu, diperlukan upaya mewujudkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia.
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang yang telah bertobat dari kesalahannya.
"Selain itu, sebentar lagi Indonesia akan memasuki tahun politik, dimana masih terbuka kemungkinan akan terjadi polarisasi kelompok masyarakat dengan tingkat emosional yang tidak stabil," ujarnya.
Apalagi ditambah dengan arus informasi yang sangat cepat tanpa bisa di saring oleh siapapun akan mempengaruhi opini yang berkembang.
Sehingga sangat dibutuhkan kesadaran dan kematangan masyarakat dalam mencerna setiap isu yang berkembang. Tentu hal ini bertujuan untuk menjaga kesatuan dan persatuan masyarakat indonesia.
Belum lagi konflik sosial budaya terjadi karena kemajemukan suku, budaya, dan agama yang tidak teratasi dengan baik dan adil oleh penyelenggara negara maupun masyarakat. Dalam kerangka itu, diperlukan penyelenggaraan negara yang mampu memahami dan mengelola kemajemukan bangsa secara baik dan adil sehingga dapat terwujud toleransi, kerukunan sosial, kebersamaan, dan kesetaraan berbangsa.
Selain dari pada itu, ada juga faktor-faktor yang berasal dari luar indonesia meliputi, antara lain:
(1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan antarbangsa yang semakin tajam;
(2) makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
Nevi mengatakan, "faktor-faktor penghambat yang sekaligus merupakan ancaman tersebut dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami kesulitan dalam mengaktualiasikan segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai persatuan, mengembangkan kemandirian, keharmonisan dan kemajuan," katanya.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan mendorong revitalisasi khazanah nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana terdapat pada empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada dasarnya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, diperlukan adanya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bekerja sama serta berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari globalisasi dengan tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.
Selain itu, saat ini kita sudah boleh dibilang bebas dari pandemic covid19. Namun dampak yang ditimbulkannya masih terasa sampai sekarang, terutama pada sektor ekonomi.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan ekonomi nasional dengan berbagai program, seperti hilirisasi tambang mineral, penguatan ekspor UMKM, dan lain sebagainya. Namun upaya itu tidak lepas dari gangguan negara-negara yang secara tidak langsung, tidak menginginkan indonesia berdaulat. Contohnya saja mengenai hilirasasi. Selama ini kita mengekspor barang mentah dengan harga yang murah.
Namun apabila sudah dilakukan hilirisasi melalui smelter, tentu harganya akan meningkat berkali lipat dan sangat menguntungkan Indonesia. Hal ini lah yang digugat oleh negara lain dengan melapoekannya ke badan WTO. Kami di DPR akan terus mendorong pemerintah untuk mempertahankan hal baik tersebut, agar terus maju mempertahanakna kedaulatan untuk kemakmuran Indonesia.
"Itulah sekilas tentang betapa kemudian sangat pentingnya bagi kita semua untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai dasar-dasar konstitusi negara kita," sebut Nevi Zuairina.
Pilar-pilar inilah yang kemudian akan senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai Negara-bangsa yang besar dalam naungan Negara Kesatan Republik Indonesia. Dan berharap, kita semua yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan repubik Indonesia, bisa menjadikan 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini, sebagai landasan dalam mencari solusi dan jalan keluar dari setiap permasalahan yang datang. (**)
0 Komentar